MAKALAH
“AL-MAFQUD”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
“FIQH MAWARIS”
Dosen Pengampu:
Ainun Yudhistira, S.H.I., M.H.I.
Oleh :
Aida Berliana Cahyaningrum
NIM : 21213007
Mochammad Fatkur Fanni
NIM : 21213009
Achmad Saefudin Zuhri
NIM : 22212001
FAKULTAS SYARI'AH JURUSAN AHWAL
AL-SYAKHSHIYYAH SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) SALATIGA
TAHUN AKADEMIK
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam kajian fikih Islam,
penentuan status orang hilang atau mafqud, apakah yang bersangkutan masih hidup
atau sudah wafat, kian penting karena menyangkut banyak aspek, salah satunya
adalah dalam hukum kewarisan. Sebagai ahli waris, mafqud berhak mendapatkan
bagian sesuai statusnya, apakah ia sebagai dzawil furud atau sebagai dzawil
asobah. Sedangkan sebagai pewaris, tentu ahli warisnya memerlukan kejelasan
status kewafatannya, karena status ini merupakan salah satu syarat untuk dapat
dikatakan bahwa kewarisan mafqud bersangkutan sebagai telah terbuka.
Para ahli
Faraidl memberikan batasan atau arti mafqud ialah orang yang sudah lama pergi
meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui kabar beritanya, tempat
tinggalnya (domisilinya) dan tidak diketahui pula tentang hidup dan matinya.
Pembahasan warisan orang hilang (mafqud) ini termasuk bagian miratsut taqdiri,
artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara/jalan perkiraan
seperti waris khuntsa (wadam) dan waris anak dalam kandungan.
Dalam
masalah orang hilang (mafqud) ini, Ahmad Azhar Basyir, MA menyatakan bahwa
kedudukan hukum orang hilang atau (mafqud) adalah dipandang (dianggap) hidup
dalam hal-hal yang menyangkut hak-hak orang lain, sehingga dapat diketahui
dengan jelas, mati atau hidupnya atau berdasarkan keputusan hakim tentang mati
atau hidupnya. Akibat dari ketentuan tersebut adalah :
1. harta benda tidak boleh diwaris
pada saat hilangnya, sebab mungkin dalam suatu waktu dapat diketahui ia masih
hidup.
2. Tidak berhak waris terhadap harta
peninggalan kerabatnya yang meninggal dunia setelah mafqud meninggalkan tempat.
Walaupun demikian karena kematian mafqud itu belum
dapat diketahui secara pasti ia masih harus diperhatikan dalam pembagian waris.
Seperti keadaan dalam kandungan. Bagian orang yang hilang (mafqud) disisihkan
sampai dapat diketahui keadaannya masih hidup atau telah meninggal dunia atau
keputusan hakim menyatakan telah meninggal dunia. Cara pembagian terhadap ahli
waris yang ada diperhitungkan dengan perkiraan bahwa mafqud masih hidup.
Misalnya, Ahli waris terdiri dari 2 orang anak perempuan dan 1 orang anak
laki-laki mafqud, maka harta warisan dibagi 4 (empat). Satu bagian untuk
masing-masing anak perempuan dan 2 (dua) bagian disimpan untuk anak laki-laki
mafqud. Dari pemaparan tersebut, kiranya sangat penting untuk membahas lebih
lanjut mengenai hak waris bagi orang hilang. Sehingga dapat ditelaah lebih
dalam mengenai hak waris tersebut.
B.
Permasalahan
Salah satu
syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni
pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Tata cara
pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dengan sebaik-baiknya. Alquran
menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak
kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun.
Definisi
orang hilang pada kenyataannya masih terdapat perbedaan pendapat, hal ini wajar
sebab dalam mendefinisikan sesuatu pasti terdapat perbedaan antara pandangan
yang satu dengan lainnya. Sehingga dalam makalah ini perlu dipaparkan mengenai
pengertian orang hilang (mafqud) tersebut. Begitupula dalam hal waktu untuk
menentukan bahwa seseorang itu hilang. Pendapat yang satu berbeda dengan
pendapat yang lain. Permasalahan yang selanjutnya adalah mengenai hak waris
bagi orang hilang tersebut dalam perspektif Islam. Hal ini sangat penting untuk
dikaji, sebab hukum Islam adalah hukum nasional yang berlaku di negara
Indonesia, dan orang hilang itu sendiri juga punya hak dalam hal waris.
Sehingga perlu adanya upaya memenuhi hak waris bagi orang hilang tersebut.
Berdasarkan
permasalahan tersebut, maka penulisan makalah ini dapat memberikan gambaran
yang lebih jelas mengenai pengertian orang hilang (mafqud), memberikan
pemahaman mengenai batas waktu untuk menentukan bahwa seseorang itu dinyatakan
hilang. Selain itu, penulisan makalah ini memberikan penjelasan mengenai hak
waris orang hilang tersebut apabila dilihat dari perspektif hukum Islam, yang
selanjutnya dapat mengetahui apa saja upaya yang dapat dilakukan untuk memenuhi
hak waris bagi orang hilang tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Orang Yang Hilang (Mafqud)
Al-mafqud
dalam bahasa Arab secara harfiah bermakna 'hilang'. Dikatakan faqadtu
asy-syai'a idzaa adha'tuhu (saya kehilangan bila tidak mengetahui di mana
sesuatu itu berada)[1][1]. Kita juga bisa simak firman Allah
SWT berikut:"Penyeru-penyeru itu berkata: 'Kami kehilangan piala raja, dan
siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban
unta, dan aku menjamin terhadapnya."
Sedangkan
menurut istilah para fuqaha, al-mafqud berarti orang yang hilang, terputus
beritanya, dan tidak diketahui rimbanya, apakah dia masih hidup atau sudah
mati. Atau mafqud Adalah dia
yang terputus beritanya, keadaannya tidak diketahui, apakah dia masih hidup
ataukah meninggal[2][2]. Dalam arti
lain lagi yang di maksud orang maqfuq ialah orang yang pergi menjadi hilang tak
tentu rimbanya, tak diketahui tempat tinggalnya dan alamatnya, juga tak
diketahui apakah orang itu masih hidup atau sudah meninggal.[3][3] Bahwa kata "mafqud"
berasal dari kata kerja faqoda, yafqidu, dan mashdarnya fiqdanan, fuqdanan,
fuqudan, yang berarti ghoba anhu wa 'adamuhu telah hilang atau tiada. Secara
lugowiyyah, mafqud berarti hilang atau lenyap. Sesuatu dikatakan hilang jika ia
telah tiada.
Di dalam
al-Quran terdapat ayat yang menyatakan qolu nahnu nafqidu shuwa'al maliki, yang
artinya mereka menjawab kami telah kehilangan piala tempat minum raja.
Sedangkan dalam pengertian hukum waris mafqud itu ialah orang yang hilang dan
telah terputus informasi tentang diriya sehingga tidak diketahui lagi tentang keadaan
yang bersangkutan, apakah dia masih hidup atau sudah wafat. Mafqud adalah orang
yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak diketahui
lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan apakah ia
masih hidup atau sudah wafat. Dengan demikian, mafqud berarti orang yang
hilang. Orang yang hilang dari negerinya dalam waktu yang cukup lama dan tidak
diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Contohnya
adalah seorang pebisnis yang pergi berbisnis ke suatu daerah yang tengah
dilanda perang, para relasinya yang dihubungi tidak mengetahui keberadaannya,
karena menurut mereka, pebisnis tersebut telah pulang ke negerinya, sedangkan
keluarganya di rumah menyatakan bahwa ia telah lama tidak pulang. Contoh
lainnya adalah seorang nelayan yang berlayar untuk mencari ikan. Teman-temannya
tidak mengetahui lagi keberadaannya, karena dia menghilang telah cukup lama.
Atau seseorang yang merantau ke negara lain, baik dalam rangka melakukan studi
atau kegiatan lainnya dalam waktu yang cukup lama tidak diketahui secara pasti
keberadaannya. Dalam faraid disebutkan bahwa orang yang hilang (mafqud) adalah
orang yang tidak diketahui lagi hidup atau matinya, atau orang yang terputus
beritanya, dan tidak diketahui dimana ia kini berada. Para fuqaha telah
menetapkan beberapa hukum yang berkenaan dengan orang yang hilang, diantaranya
adalah:
2.
Hartanya
tidak boleh diwariskan, dan hak kepemilikannya tidak boleh diusik, sampai
benar-benar diketahui keadaannya apakah ia masih hidup atau sudah mati. Atau
telah berlalu selama waktu tertentu dan diperkirakan secara umum telah mati,
dan qadhi (hakim) pun telah menetapkannya sebagai orang yang dianggap telah
mati[5][5].
Kadang-kadang
bisa juga ditetapkan sebagai orang yang masih hidup berdasarkan asalnya, hingga
benar-benar tampak dugaan yang sebaliknya (yakni benar-benar sudah mati). Yang
demikian itu berdasarkan ucapan Ali bin Abi Thalib r.a. tentang wanita yang
suaminya hilang dan tidak diketahui rimbanya. Ali berkata: "Dia adalah
seorang istri yang tengah diuji, maka hendaknya dia bersabar, dan tidak halal
untuk dinikahi hingga ia mendapatkan berita yang meyakinkan akan kematian
suaminya."
B. Batas Waktu Untuk Menentukan Bahwa Seseorang Itu Hilang (Mafqud)
Penentuan
wafatnya mafqud harus berdasarkan pada alat bukti yang jelas dan dengan alat
bukti itu diduga keras bahwa mafqud tersebut telah wafat. Caranya adalah dengan
memperhatikan teman-teman seumur/segenerasi dengan mafqud bersangkutan. Apabila
teman-teman seumur/segenarasi mafqud itu tidak ada lagi yang hidup, maka hakim
boleh menetapkan bahwa mafqud dimaksud telah wafat. Bila harta mafqud telah
dibagikan kepada ahli warisnya, kemudian ternyata bahwa mafqud bersangkutan
masih hidup dan kembali ke daerahnya, maka harta yang sudah dibagikan tersebut,
sekiranya masih ada yang tersisa ditangan ahli waris yang telah menerimanya,
dikembalikan oleh ahli warisnya itu kepada mafqud dimaksud. Jika harta itu
telah habis, maka mafqud tidak dapat menuntut ahli waris yang menerima warisan
tersebut untuk mengembalikannya. Muhammad Toha Abul 'Ula Kholifah megatakan
bahwa hakim memutuskan mafqud ` telah wafat dalam keadaan:
a.
Yang
bersangkutan hilang dalam situasi yang patut dianggap bahwa ia sebagai telah
binasa, seperti karena ada serangan mendadak atau dalam keadaan perang.
b. Yang
bersangkutan pergi untuk suatu keperluan, tetapi tidak pernah kembali.
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
Dalam dua hal ini hakim dapat memutuskan bahwa yang bersangkutan telah wafat setelah berlangsung tenggat waktu 40 tahun sejak kepergiannya (mazhab Imam Ahmad).
c.
Yang
bersangkutan hilang dalam suatu kegiatan wisata atau urusan bisnis. Dalam kasus
ini hakim memutuskan kematian yang bersangkutan berdasarkan pertimbangan
sendiri.
Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.
Mengenai masa atau periode yang dapat dijadikan dasar untuk menilai mafqud telah wafat diserahkan pada pertimbangan hakim jika ia hilang dalam waktu yang kian lama sehingga sudah tidak ada lagi orang yang satu periode dengan dia di daerahnya yang mungkin masih hidup, misalnya karena sudah mencapai batas waktu 100 atau 120 tahun. Dan ia baru dinyatakan telah wafat setelah yang bersangkutan diupayakan pencariannya melalui berbagai sarana yang memungkinkan.
Para Ulama
berbeda pendapat mengenai batasan waktu bagi mafqud sehingga dia dianggap telah
wafat. Ada pendapat yang mengatakan bahwa batasan waktu itu tidak perlu
ditentukan dan sepenuhnya diserahkan pada pertimbangan hakim. Ulama Malikiyyah
dan Hanabilah berpendapat bahwa perlu ada batasan waktu yang dapat dijadikan
patokan bagi penentuan wafatnya mafqud. Pendapat yang populer di kalangan ulama
Malikiyah bahwa batasan waktu itu adalah 70 tahun, sedangkan di kalangan ulama
Hanabilah batasan waktu itu adalah 90 tahun. Ulama Hanafiyah dan Syafi’iyah
berpendapat bahwa batasan waktu itu tidak diperlukan. Yang jadi patokan bagi
penentuan wafatnya mafqud menurut pendapat Ulama Hanafiyyah adalah dengan
berpedoman pada kematian teman-temannya sebayanya di daerahnya. Maksudnya
adalah dengan sudah tidak ada lagi rekan-rekan seusia mafqud yang masih hidup
di daerah itu, berarti mafqud bersangkutan juga dianggap telah wafat. Dan ulama
Syafi’iayh berpendapat penentuan batas waktu itu sepenuhnya menjadi domain
ijtihad bagi hakim, dengan mengacu pada batas waktu atau kebiasaan di mana
orang tidak mungkin lagi bisa hidup di atas batas usia tersebut.
Penentuan
seseorang sebagai telah mafqud adalah berdasarkan pada tanggal atau waktu
ditemuinya bukti kuat tentang kematian mafqud bersangkutan atau pada saat hakim
memutuskan wafatnya mafqud. Jika penentuan itu berdasarkan pada ijtihad[6][6] atau
persangkaan, di sini ada dua pendapat. Pertama, Abu Hanifah dan Malik
berpendapat bahwa waktu wafatnya mafqud dianggap sejak tanggal hilangnya mafqud
bersangkutan. Sejak tanggal itulah dia dianggap telah mafqud. Konsekwensinya
adalah bahwa ahli waris mafqud yang wafat sebelum tanggal tersebut tidak berhak
mendapat warisan dari mafqud dimaksud karena warisan itu hanya berlaku bagi
ahli waris yang masih hidup pada tanggal mafqud mulai hilang. Berbeda halnya
dengan Syafi’i dan Ahmad yang berpendapat bahwa mafqud dianggap telah wafat
sejak tanggal pernyataan kewafatannya, sehingga dengan demikian mafqud berhak
mendapat warisan dari pewarisnya yang wafat sebelum tanggal kematian mafqud, dan
ahli waris mafqud berhak mendapat warisan dari mafqud bersangkutan jika ahli
warisnya masih hidup pada saat mafqud dinyatakan wafat
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
a.
Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang yang seusia
dengan dia di daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi yang masih
hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
b. Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan
hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan
70 tahun.
c.
Ulama
Syafi'iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas
usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya. Tetapi, pendapat yang
sahih di kalangan ini adalah penentuannya bukan berdasarkan pada bilangan waktu
tertentu, melainkan berdasarkan pada bukti, yakni jika telah ada bukti bagi
hakim tentang kematian mafqud bersangkutan, maka berdasarkan bukti itu hakim
menetapkan kematian mafqud bersangkutan dan itu setelah berlangsung suatu
periode di mana secara kebiasan bahwa seseorang sudah tidak mungkin lagi hidup
di atas usia tersebut.
d. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa jika mafqud itu hilang dalam suasana yang memang
memungkinkan yang bersangkutan itu telah binasa, seperti pergumulan peperangan
yang begitu dahsyat di mana kedua belah pihak saling berhadap-hadapan dalam
penyerangan, atau tenggelamnya alat angkutan yang ditumpanginya, di mana
sebagian penumpang selamat dan sebagian lagi tidak selamat, maka di sini
ditunggu sampai tenggat waktu empat tahun. Tetapi jika ia hilang dalam suasana
yang tidak mungkin ia binasa, seperti pergi untuk berdagang, perjalanan wisata,
atau menuntut ilmu, maka dalam hal ini ada dua pendapat:
1.
Ditunggu
sampai yang bersangkutan berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini
sudah tipis kemungkinan bagi seseorang untuk bertahan hidup.
2.
Diserahkan
pada pertimbangan hakim dalam sidang pengadilannnya secara legal berakibat
salah satu dari dua keputusan masing-masing mempunyai konsekwensi dalam system
kewarisa[7][7].
C. Hak Waris Orang Hilang Dalam Perspektif Hukum Islam
Kewarisan
merupakan himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur cara pengurusan
hak-hak dan kewajiban seseorang yang telah meninggal dunia oleh ahli waris atau
badan hukum lainnya[8][8]. Mengenai
orang hilang (mafqud) yang terputus beritanya sehingga tidak diketahui
hidup-matinya, membuat masyarakat mencari keadilan ke Pengadilan Agama untuk
mendapatkan ketetapan bahwa si mafqud meninggal dunia secara hukum. Perkara
tersebut menarik untuk dikaji karena permasalahan hak waris mafqud menjadi
kendala dalam proses pembagian harta warisan, yang mana status si mafqud
tersebut tidak bisa diidentifikasi dengan jelas apakah masih hidup atau sudah
meninggal dunia. Persoalan ini menjadi rumit karena, peraturannya secara rinci
tidak terkodifikasi dalam peraturan yang berlaku baik, dalam al-Quran, hadis
maupun dalam undang-undang yang berlaku. Dapatkah hak waris mafqud tersebut
diperoleh sehingga perlu dilakukan pembahasan tentang hak waris mafqud. Hak
waris adalah hak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang-orang yang
meninggal dunia. Pemilik hak waris sering disebut sebaggai ahli waris. Dalam
hukum kewarisan ada unsur-unsur yang memungkinkan peralihan harta peninggalan
seseorang berlangsung sebagaimana mestinya. Unsur tersebut adalah pewaris,
harta warisan dan ahli waris. Adapun yang menyebabkan seseorang menjadi ahli
waris adalah karena hubungan darah dan hubungan kekerabatan atau hubungan
nasab, dan hubungan perkawinan.
Dalam faraid
dinyatakan, apabila seseorang wafat dan mempunyai ahli waris, dan diantara ahli
warisnya ada yang hilang dan tidak dikenal lagi rimbanya, maka cara pemberian
hak warisnya ada dua keadaan:
a.
Ahli waris
yang hilang tersebut sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya[9][10]. Yakni
termasuk ashabah tanpa ada satupun ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat
bagian.
b. Ahli waris
yang hilang tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan
ia sama berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya[10][11] (yakni
termasuk ashhabul furudh).
Pada keadaan
pertama: seluruh harta warisan peninggalan pewaris dibekukan, yakni tidak
diberikan kepada ahli waris, untuk sementara hingga ahli waris yang hilang
tersebut muncul atau diketahui hidup dan tempatnya. Bila ahli waris yang hilang
ternyata masih hidup, maka dialah yang berhak untuk menerima atau mengambil
seluruh harta warisnya. Namun, bila ternyata hakim telah menetapkannya sebagai
orang yang telah mati, maka harta waris tadi dibagikan kepada seluruh ahli
waris yang ada dan masing-masing mendapatkan sesuai dengan bagian atau
fardh-nya. Sedangkan pada keadaan kedua, ahli waris yang ada berhak untuk
menerima bagian yang paling sedikit di antara dua keadaan (yakni keadaan hidup
dan matinya) orang yang hilang.
Bila ahli
waris yang ada, siapa saja di antara mereka yang dalam dua keadaan orang yang
hilang tadi sama bagian hak warisnya, hendaknya ia diberi hak waris secara
sempurna. Namun, bagi ahli waris yang berbeda bagian hak warisnya di antara dua
keadaan ahli waris yang hilang tadi, maka mereka diberi lebih sedikit di antara
kedua keadaan tadi. Namun, bagi siapa saja yang tidak berhak untuk mendapatkan
waris dalam dua keadaan orang yang hilang, dengan sendirinya tidak berhak untuk
mendapatkan harta waris sedikit pun.
Muhammad
Abul ’Ula Kholifah mengatakan bahwa ada suatu prinsip dalam pembagian warisan
mafqud, yaitu jika dikaitan dengan harta pribadinya, dia dianggap sebagai hidup
sampai diketahui atau dinyatakan kematiannya. Jika dikaitkan dengan harta orang
lain, dia dianggap wafat, sehingga dengan demikian dia tidak termasuk ahli
waris, sampai ada kejelasan statusnya, sudah wafatkah dia atau masih hidup.
Atas dasar prinsip tersebut, maka teknis pembagian waris mafqud harus ditempuh
melalui dua cara, yaitu:
1.
Mafqud
dianggap masih hidup, sehingga bagiannya sementara ditunda sampai ada kejelasan
statusnya.
2.
mafqud
dianggap sudah wafat, sehingga dengan demikian dia bukan sebagai ahli waris.
Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
Karena demikian adanya, maka perlu diperhatikan keberadaan ahli waris lainnya, yaitu:
a.
Terhadap
ahli waris yang bagiannya tetap sama dalam dua keadaan tersebut, yakni baik
mafqud bersangkutan masih hidup ataupun sudah wafat, maka kepadanya diberikan
bagian secara penuh.
b. Terhadap
ahli waris yang bagiannya berubah dalam salah satu dari dua keadaan dimaksud,
maka kepadanya diberikan bagian yang lebih kecil, sedangkan sisanya sementara
ditunda sampai ada kejelasan status mafqud. Jika mafqud bersangkutan ternyata
benar-benar masih hidup, maka ia mengambil bagian yang sementara ditunda itu.
Sebaliknya, jika ternyata mafqud tersebut benar-benar telah wafat, maka bagian
yang sementara ditunda itu diberikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya.
c.
Terhadap
ahli waris yang belum jelas status kewarisannya, artinya ia berhak mewaris
dalam satu cara, tetapi tidak berhak mewaris dalam cara yang lain, maka di sini
wajib ditunda bagiannya sampai jelas status mafqud.
Pendapat
yang sama dikemukakan juga oleh Wahbah az-Zuhaily yang menyatakan bahwa teknis
pembagian kewarisan mafqud itu adalah sebagai berikut:
a.
Jika dia
sebagai ahli waris tunggal,tidak ada ahli waris lain selain dirinya sendiri,
maka kewarisan itu ditunda pembagiannya.
b. Jika bersama
mafqud itu ada ahli waris lain, maka teknis pembagiannya dilakukan dengan dua
cara, yaitu:
1.
cara
pertama, mafqud dianggap sebagai masih hidup.
2.
cara kedua,
mafqud dianggap sebagai sudah wafat.
Kemudian
kedua asal masalah dari pembagian tersebut disatukan dalam satu pembagian.
Hasilnya, diberikan kepada para ahli waris
yang berhak menerimanya, dengan ketentuan:
1. Kepada ahli
waris yang memperoleh bagian samabesar dalam dua keadaan tersebut, diberikan
bagiannya secara penuh.
2. Kepada ahli
waris yang memperoleh bagian berbeda dalam dua keadaan tersebut, diberikan
bagian yang lebih kecil, dan sisanya sementara ditunda sampai ada kejelasan
status mafqud. Jika mafqud itu ternyata masih hidup, maka sisa bagian yang
sementara ditunda itu menjadi haknya.
Menurut
as-Shobuny, kewarisan mafqud itu ada dua kemungkinan. Pertama, bersama mafqud
ada ahli waris lain yang terhijib hirman oleh mafqud bersangkutan. Dalam hal
ini, maka pembagian warisan belum bisa dilaksanakan karena mesti ditunda.
Sebagai contoh adalah X wafat dengan meninggalkan ahli waris yang terdiri dari
seorang saudara kandung laki-laki, seorang saudara kandung perempuan, dan
seorang anak laki-laki mafqud. Di sini, karena anak laki-laki dari X itu
menghijab saudara, maka pembagian warisan X terhadap ahli waris dimaksud belum
dapat dilaksanakan sampai ada kejelasan status mafqud, apakah dia masih hidup
atau sudah wafat.
Jika mafqud
masih hidup, maka ia sebagai ahli waris tunggal dari X dan oleh karena itu,
maka warisan X sepenuhnya jatuh kepada mafqud bersangkutan. Tetapi jika mafqud
itu ternyata sudah wafat, maka saudara kandung laki-laki dan perempuan dari X
itulah sebagai ahli warisnya, dan mereka berhak atas harta peninggalan X.
Kedua, bersama mafqud ada ahli waris lain yang sama-sama berhak mewaris. Dalam
hal ini, maka pembagian warisan mafqud dapat dilaksanakan dengan
memperhitungkan kemungkinan masih hidup dan sudah wafatnya mafqud bersangkutan,
dengan catatan bahwa:
1. Kepada ahli
waris yang perolehan bagiannya sama, tidak berkurang dalam dua keadaan, baik
mafqud itu masih dianggap hidup ataupun sudah wafat, diberikan bagiannya secara
lengkap.
2. Terhadap
ahli waris yang perolehan bagiannnya berbeda antara dua keadaan, yakni dalam
hal mafqud dianggap masih hidup dan sudah wafat, diberikan bagian yang terkecil
dari dua perolehan dimaksud.
3. Terhadap
ahli waris yang tidak mendapat perolehan bagian, baik dalam hal mafqud dianggap
masih hidup ataupun sudah wafat, tidak mendapatkan perolehan.
D. Upaya Untuk
Memenuhi Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang
Agama yang
dibawa oleh Nabi Muhammad saw merupakan sebuah aturan yang lengkap dan
sempurna, yang mengatur segala aspek kehidupan untuk keselamatan dunia dan
akhirat.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kalau seseorang hilang, tidak ketahuan kemana perginya, padahal ia ada meninggalkan harta atau didalam masa hilangnya ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan.
Salah satu syariat yang diatur dalam ajaran Islam adalah tentang hukum waris, yakni pemindahan harta warisan kepada ahli waris yang berhak menerimanya. Kalau seseorang hilang, tidak ketahuan kemana perginya, padahal ia ada meninggalkan harta atau didalam masa hilangnya ada seorang keluarganya mati dan ia dapat warisan.
Ada ulama
berkata, bahwa hartanya sendiri, dan harta yang ia dapat warisan itu tidak
boleh diapa-apakan hingga lewat 90 tahun, barulah boleh dibagikan kepada
warisnya. Ada yang menwajibkan menunggu hingga masa yang orang-orang sebaya
dengannya meninggal. Ada yang berpendapat bahwa hartanya itu diserahkan kepada
baitul mal buat dijaga dan ditarik hasilnya, dikeluarkan belanja-belanja yang
perlu dan pantas seperti gaji pengurus, zakat, belanja orang-orang yang ada
dalam tanggungannya dan sebagainya sambil dijalankan ikhtiar buat mencari tahu
halnya dengan apa-apa daya upaya yang pantas.
Sesudah
dirasa ikhtiar puas, maka boleh Qodhi, Imam atau membagikan 2/3 dari hartanya
kepada waris-warisnya dan 1/3 lagi tetap disimpan dalam baitul mal hingga
kira-kira orang itu sampai umur pada ghalibnya mesti mati, barulah 1/3 itu lagi
dibagikan kepada ahli warisnya yang masih ada pada waktu itu; dan kalau ahli
warisnya tidak ada sama sekali maka dibagikan kepada ulul arhaamnya (
keluarganya ). Alasan yang dapat dipergunakan untuk menetapkan mafqudnya
seseorang :
1. Tidak ada
kabar beritanya dan keluarga tidak tahu dimana keberadaannya, sudah diusahakan
mencari tahu dimana orang mafqud berada.
2. Menurut
aturan Islam, keberadaan kabar berita orang mafqud ditunggu 4-5 tahun.
3. Jika lewat
dari waktu tersebut, maka bisa mengajukan ke Pengadilan Agama untuk menetapkan
orang mafqud tersebut mati secara hukmy (hukum).
4. Keluarga
sudah berusaha untuk mencari informasi keberadaannya serta bisa mengumumkannya
melalui media elektronik/cetak/pihak berwajib.
a.
Bukti-bukti
berupa keterangan dari keluarga, media cetak, elektronik, dan pihak berwajib
bahwa orang mafqud sudah diusahakan mencari keberadaannya.
b. Tenggang
waktu menunggu sudah sangat lama.
c.
Ada
perbuatan hukum yang harus segera keluarga selesaikan, dan perbuatan hukum
tersebut menyangkut hak dan kewajiban orang mafqud serta keluarganya.
Oleh karena
permohonan agar seseorang dinyatakan sebagai dalam keadaan mafqud secara jelas
menjadi yurisdiksi voluntair pengadilan agama, maka praktek caranya berlaku
sepenuhnya ketentuan mengenai perkara volunter, antara lain:
1.
Permohonan
diajukan dengan surat permohonan yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasanya
yang sah dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
tinggal pemohon.
2.
Pemohon yang
tidak dapat menulis dapat mengajukan permohonannya secara lisan di hadapan
Ketua Pengadilan Agama yang akan menyuruh mencatat permohonan tersebut.
3.
Landasan
hukum dan psristiwa yang menjadi dasar permohonan, cukup memuat dan menjelaskan
hubungan hukum (rechtsver houding) antara diri pemohon dengan permasalahan
hukum yang dipersoalkan. Sehubungan dengan hal itu, fondamentum petendi atau
posita permohonan pada prinsipnya didasarkan pada ketentuan pasal undang-undang
yang menjadi alasan permohonan dengan menghubungkan ketentuan itu dengan
peristiwa yang dihadapi pemohon.
4.
Petitum
permohonan tidak boleh melanggar atau melampaui hak orang lain. Ia harus
benar-benar murni merupakan permintaan penyelesaian kepentingan pemohon, dengan
acuan:
a.
isi petitum
merupakan permintaan yang bersifat deklaratif.
b.
petitum
tidak boleh melibatlkan pihak lain yang tidak ikut sebagai pemohon.
c.
tidak boleh
memuat petitum yang bersifat condemnatoir (mengandung hukum).
d.
petitum
harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang dikehendaki pemohon untuk
ditetapkan pengadilan agama kepadanya.
e.
petitum
tidak boleh bersifat compositur atau ex aequo et bono.
Dari
berbagai pandangan mengenai hak waris bagi mafqud yang sudah dipaparkan
sebelumnya, maka untuk memenuhi hak waris bagi mafqud perlu ketegasan dari
pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui keberadaannya, apakah dia masih
hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi haknya.[12][13]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mafqud
adalah orang yang hilang dan telah terputus informasi tentang dirinya dan tidak
diketahui lagi tempat tinggalnya secara pasti sehingga tidak dapat dipastikan
apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Orang yang hilang dari negerinya dalam
waktu yang cukup lama dan tidak diketahui lagi keberadaannya apakah ia masih
hidup atau sudah`wafat. Tentang periode yang dapat diputuskan oleh hakim bahwa
mafqud itu telah wafat, as-Shabuny mengatakan:
1.
Ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa mafqud itu dianggap telah wafat jika orang-orang
yang seusia dengan dia di daerahnya telah semua wafat, sehingga tidak ada lagi
yang masih hidup, dan ini waktunya sekitar 90 tahun.
2.
Ulama
Malikiyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 70 tahun, dengan landasan
hadits Rasul yang menyatakan bahwa usia umatku berkisar antara 60 sampai dengan
70 tahun.
3.
Ulama
Syafi'iyah berpendapat bahwa tenggat waktu itu adalah 90 tahun, yaitu batas
usia orang-orang yang seperiode dengan dia di daerahnya.
4.
Ulama
Hanabilah dalam hal ini ada dua pendapat: Ditunggu sampai yang bersangkutan
berusia 90 tahun karena biasanya di atas usia ini sudah tipis kemungkinannya
bagi seseorang untuk dapat bertahan hidup; diserahkan pada petimbangan hakim.
Cara pemberian
hak warisnya ada dua keadaan: ahli waris yang hilang tersebut sebagai
penghalang bagi ahli waris lainnya (yakni termasuk ashabah tanpa ada satupun
ashhabul furudh yang berhak untuk mendapat bagian), ahli waris yang hilang
tersebut bukan sebagai penghalang bagi ahli waris lainnya, bahkan ia sama
berhak untuk mendapatkan warisan sesuai dengan bagian atau fardh-nya (yakni
termasuk ashhabul furudh). Untuk memenuhi hak waris bagi mafqud perlu ketegasan
dari pemerintah. Mafqud yang belum dapat diketahui keberadaannya, apakah dia
masih hidup atau sudah meninggal tetap harus dipenuhi haknya.Sampai saat ini
ketentuan materiil mengenai kemafqudan bagi peradilan agama belum ada aturannya
dalam bentuk hukum positif, tetapi telah kian enumeratif dibahas oleh para ulama
dalam berbagai kitab fikih sehingga oleh karena itu hasil ijtihad para ulama
fikih tersebut dapat dijadikan rujukan dalam menyelesaikan perkara dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
A. Sukris Samadi, Transendensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT Grafindo Persada.
1997.
Muhammad Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah dan sunnah. Surabaya: Al-Iklash,
1988.
Zakiah
Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. Jakarta Departemen Agama,
1986.
Amir Hamka 2011. Bagian Harta Waris Bagi Ahli Waris
Yang Dianggap Hilang (Mafqud). http://mandiri84.wordpress.com. Diakses
Tanggal 7 Oktober 2011
Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011
Muhammad Ali Ash-Shabuni. Waris Orang Hilang (Mafqud).
http://media.isnet.org. Diakses 7 Oktober
2011
Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http://
www. faraidweb.com. Diakses tanggal 7 Oktober 2011
Syaikh
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj
Islamhouse.com.2009
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
http://taswirgokil.blogspot.com/2012/01/makalah-fiqih-mawaris-orang-yang-hilang.html
[1][1]
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[2][2] Syaikh
Muhammad bin Ibrahim At-Tuwaijri, Ringkasan Fiqih Islam, Indonesia: Terj
Islamhouse.com.2009.hal. 27.
[3][3] Zakiah
Daradjat, Usman Said, Husni Rahiem, Murni Jamal, Suaibu Thalib. Ilmu Fiqih. (Jakarta Departemen Agama,
1986). Hal.166.
[4][4]
Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com.
Diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[5][5]
Opi.2010.Hak Waris Orang Yang Hilang dan Tertawan. http:// www. faraidweb.com.
Diakses tanggal 7 Oktober 2011.
[6][6] Ulama ahli hkum Islam bersepakat bahwa wajib
menanti didalam membagi hartanya sampai melampaui batas masa yang tidak mungki ia hidup
misalnya, Dan hal itu diserahkan saja
kepada pandangan Dan ijtihad hakim Lihat Muhammad Jawad Mughniyah, Perbandingan Hukum Waris Syiah dan sunnah. (Surabaya:
Al-Iklash, 1988). hal. 108.
[7][7] A. Sukris Samadi, Transendensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. (Jakarta: PT Grafindo Persada.
1997). Hal. 235.
[8][8]
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011
[9][10]
Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011.
[10][11]
Arman. 2008. Tanya Jawab Masalah Waris. http://arsiparmansyah.wordpress.com.
Di Akses 7 Oktober 2011.
[11][12]
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.
[12][13]
Yazhayuadevi 2010. Hak Waris Bagi Orang Yang Hilang. http://yazhayuadevi.blogspot.com.
Diakses Tanggal 7 Oktober 2011.
LuckyClub Casino Site - Login, bet and withdraw bonus
BalasHapusRegister for an account at Lucky Club Casino today. · luckyclub Make a deposit and your first deposit of at least €10 (min odds 1.50) at